ini adalah beberapa hasil pengamatan langsung selama penulis bertugas di lapangan, terhadap sikap orang tua dan masyarakat sekitar terhadap korban dan pelaku
“Sakitnya tuh di sini Mbak, saya mesti gimana….”
Siang itu..seorang perempuan yang biasa saya lihat ceria dan energik dengan bahasa tubuh yang mengesankan wanita aktif dan mandiri, kali ini berada di hadapan saya dengan wajah penuh putus asa dengan menggelayut mendung. Ekspresinya cemas dan tampak tak dapat menutupi kesedihannya menahan tangis.
Begitulah ungkapan keprihatinan dan kesedihan dari seorang ibu yang baru saja mengetahui bahwa anak laki-lakinya yang duduk di bangku sekolah dasar mengalami pelecehan seksual oleh seorang laki-laki dewasa.
Bagi saya, seorang psikolog anak di Puskesmas kala itu, menemui anak korban pelecehan seksual bukanlah pengalaman pertama. Tapi kali ini saya merasakan sesuatu yang berbeda..ketika kejadian yang menyedihkan itu dialami oleh orang yang dekat dengan saya, bahkan si pelaku adalah orang yang pernah saya lihat. Saya “merinding”, membayangkan betapa dekat kemungkinan anak saya juga bisa saja mengalaminya. Saya jadi tegerak untuk melihat lebih dekat..dan mencoba menuliskannya disini.
Beragam reaksi yang saya lihat ketika orang tua mengetahui anaknya mengalami kekerasan seksual atau pelecehan seksual. Sangat berat dan membuat orang tua geram setengah mati. Bukan hanya itu, sisi trauma dan sederet perasaan lain seolah sudah menanti untuk segera disentuh. Apabila dituliskan, dari sekian banyak kasus yang saya temui kurang lebih demikian:
1. Respon fisiologis
Pada saat pertama kali mendengar berita tentang anaknya, sebagian besar reaksi yang muncul adalah shock yang diantaranya ditandai dengan tubuh yang terasa lemas seketika. Setelah itu, sebagian besar orang tua juga merasakan menjadi sulit tidur dan tidak nafsu makan. Sebagian lagi muncul reaksi sakit kepala berulang, perut berulang,, keringat dingin berlebihan, jantung berdebar-debar, dsb seperti umumnya reaksi orang yang mengalami stres
2. Respon kognitif
Reaksi kognitif yang umum adalah orang tua merasa mereka menjadi “blank”, tidak dapat berpikir untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Muncul kebingungan, kehilangan konsentrasi saat beraktivitas, serta muncul kekhawatiran yang berlebihan. Pikiran-pikiran negatif menjadi mendominasi. Pikiran yang muncul diantaranya sebagai berikut:
– Ada kekhawatiran jika nanti anak menjadi trauma. Dan trauma itu ia bawa hingga ia dewasa
– Adanya kekhawatiran jika suatu saat nanti anaknya terinspirasi untuk menjadi pelaku
– Adanya kekhawatiran jika nanti anaknya menjadi ketagihan melakukan aktivitas seksual
– Apabila anaknya perempuan, muncul kekhawatiran jika anaknya sudah tidak perawan lagi atau bahkan hamil jika si anak sudah menstruasi sehingga nantinya akan mengalami kendala saat akan hidup berumah tangga
– Bagi korban sodomi, muncul kekhawatiran jika nantinya si anak akan mengalami kelainan dalam orientasi seksualnya
Sebagian besar orang tua kemudian bepikir keras mengenai cara yang dapat dilakukan agar si pelaku dapat memperoleh hukuman yang seberat-beratnya dan tidak lagi kembali ke lingkungan mereka untuk selamanya.
3. Respon emosi
Respon emosi yang muncul pun beragam, yang jelas muncul adalah rasa sakit hati, bercampur antara perasaan sedih dan marah. Marah kepada pelaku, marah kepada anak mereka karena dianggap tidak hati-hati dan mudah terpengaruh, serta marah pada diri sendiri karena merasa gagal / lalai dalam menjaga anak sendiri. Kesedihan berhari-hari karena belum bisa menerima kenyataan bahwa kejadian buruk seperti ini dapat menimpa anaknya sendiri. Sebagian orang tua merasa malu ketika kasus yang menimpa anaknya kemudian menjadi bahan omongan banyak orang sehingga kemudian memilih untuk menarik diri dari lingkungan dan mengurangi aktivtas yang dilakukan di luar rumah, namun sebagian yang lain justru merasa “lega” dan “terdukung” ketika banyak orang mengetahui perbuatan pelaku terhadap anak-anak mereka.
4. Respon perilaku
Keseluruhan respon di atas, kemudian memunculkan beragam bentuk perilaku dari para orang tua. Respon awal yang banyak muncul ada justru memarahi anak-anak mereka yang menjadi korban, terutama jika si anak dianggap sudah cukup besar untuk bisa menjaga dirinya sendiri. Respon yang lain adalah saling menyalahkan antara ibu dan ayah. Pada sisi ayah, muncul respon yang khas yaitu perilaku menyerang pelaku baik secara fisik maupun verbal sebagai bentuk kemarahan. Perilaku main hakim sendiri tak jarang kemudian muncul. Sebagian orang tua kemudian memutuskan untuk membatasi ruang gerak anak-anak mereka dan menjadi sangat waspada. Setiap gerak gerik anak mereka amati dan menjadi sangat reaktif ketika menemui perilaku yang menurut orang tua tidak wajar. Sebagian orang tua , karena beban pikiran dan perasaan yang dirasakan tak jarang kemudian menjadi menghentikan diri sejenak dari pekerjaannya. Rasa takut mendengar omongan orang lain juga membuat orang tua memilih untuk menjadi lebih banyak di rumah
Sebagian besar orang tua telah memiliki kesadaran untuk kemudian segera melapor pada pihak berwenang dan memeriksakan anak mereka pada tenaga professional. Namun, pernah pula saya menemi orang tua yang justru bertengkar karena si ayah merasa anaknya baik-baik saja, tidak perlu diperiksakan macam-macam , dan nanti akan sembuh sediri sementara si ibu merasa pemeriksaan terhadap kondisi anaknya wajib untuk dilakukan.
Berbagai macam respon yang saya paparkan di atas kemunculannya memiliki tingkat keparahan/ intensitas yang bermacam-macam dan bertingkat. Ada yang sifatnya ringan dan sementara, namun ada juga yang berat bahkan berkelanjutan. Ada yang cepat pulih dari kondisi stress nya, namun ada pula yang mengarah pada kondisi depresi.
Tulisan ini semata-mata murni hasil pengamatan dan penelaahan saya selama bertugas di Puskesmas dan RS, semoga bermanfaat